1.) tolong jelasin konsep musik SID itu. apa lebih dari sekedar punkrock, atau apa?
Di istilah pribadi SID menamakan genre yang dianut sebagai: 3-Chordsabilly Beer Punk Rock. Deskripsinya? (baca biografi yang diselipin di e-mail ini). Sementara itu secara perspektif sosio-musikal bisa dibilang SID hampir tak menyuarakan pesan apa-apa kepada publik kecuali: jadilah diri sendiri. Pula SID gak bakal mencoba menyuarakan slogan anti narkoba, anti ini anti itu. Sebab hidup adalah pilihan. Biarkan orang melakukan apa yang mereka suka. Dan SID semampunya menghindari stigma mendikte atau menggurui publik. SID menganggap Generasi Y telah cukup pintar utk memilah-milah yang mana baik yang mana buruk. Jangan ketika banyak band menyuarakan politik lalu kita ikut-ikutan melakukannya semata untuk membuktikan bahwa band kita intelektual plus banjir peduli pada kelangsungan negara ini. We have nothing to prove. You are who you are. And be proud of it.
2). gue pernah ngobrol ngobrol dengan beberapa teman, terjadi sedikit perdebatan tentang album terbaru kalian, satu bagian menyatakan album baru kalian tidak memiliki greget lebih dibanding kan rilisan sebelumnya (bad bad bad). sementara yang lain menyatakan lebih enjoyable.. menurut SID sendiri bagaimana?
SID sendiri menganggap album “Kuta Rock City”–sejauh ini–adalah pencapaian artistik tertinggi di jazirah berkesenian SID (yah, paling kita kurang puas ama sound di album itu aja, maklum, namanya juga putra daerah, masih gagap teknologi dan tata suara he he he…). Seandainya ternyata di kecenderungan komunal ada pro-kontra tentang kualitas estetika “Kuta Rock City”, well, tiap individu berhak punya pendapat berbeda, kan? Apalagi jika menyangkut faktor selera, wih, amat subjektif sifatnya. Dan di sini tak ada pendapat absolut tentang siapa benar siapa salah. Tapi lebih tentang soal suka tidak suka.
3). ada pernyataan lain yang menyatakan itu adalah akibat kalian masuk major label..pendapat SID tentang itu?
To whom it may concern: ketika hendak menyimpulkan sebuah fenomena emang sebaiknya dimunculkan niat menghargai proses alias peduli pada elemen kronologis yang disebut pra-kondisi terlebih dahulu. Coba investigasi secara holistik, pasang kuping lebih lebar, buka mata sampai jauh, serta terus tegar loyal pada akurasi informasi. Jika sudah, baru deh menyertakan estetika seni subjektif di situ lalu baru kemudian gagah berani mengambil kesimpulan: album ini yummy yummy, album ini yucky yucky, album ini not so yummy not so yucky. Let me get this straight, Major bisa dibilang nihil andil di proses berkesenian SID. SID dipersilakan berkreasi suka-suka hati. Dari bikin lagu, bikin desain cover, bikin vidklip, semua dikerjakan SID sendiri (Sony cuma supervisi dalam skala bukan artistik). Nah, kemerdekaan berimprovisasi segitu dramatis–ngomongin so-called pra-kondisi nih–didapat oleh SID lewat negosiasi yang alot dan menghabiskan banyak energi dan riuh botol bir. Look, dude, proses negosiasi sampai sekitar 4-5 bulan. Melelahkan. Tekanan mental ultra tinggi. Asli. Dus, jangan pernah lupa, SID ndak pernah yang namanya nyodorin demo ke label mana pun. Never. No, dude, never. Sebab dari awal SID telah sadar, jika SID nyodorin demo ke label (Indie, Major Indie, Major, whatever) maka posisi tawar menawar SID akan jomplang sejak mula. Kesannya SID yang perlu pada itu label. Padahal sama-sama butuh. Dan hierarki yang natural muncul nantinya adalah bak atasan dengan bawahan. Kalo diilustrasikan, persis kayak pegawai yang butuh pekerjaan. Sementara yang SID pengen adalah partnership yang notabene hubungannya bakal sejajar. Kayak manajer berprestasi yang dikejar oleh sebuah perusahaan besar. Selanjutnya sang manajer bakal berani mati bilang: “Lu berani bayar gue berapa?” Seperti itu, dude. Kenapa SID menyanggupi bekerja sama dengan major label? Sederhana, SID itu band miskin. Kalo SID setajir Setiawan Djody, wih, ngapain juga kerjasama dengan Major??! Nah, karna SID adalah band yang secara finansial pas-pasan (baca: duit honor manggung dan penjualan album cuma cukup buat beli bir dan berdandan fully Rock Star, lain tidak), on the other hand SID pengen melulu hidup dari musik, ya sudah, SID memilih realistis lalu menjalin kerjasama mutual dengan taipan bernama Sony Music Indonesia. (Dude, lu gak tau gimana demi mempertahankan idealisme “pantang nyerahin demo ke label” ini sudah bikin SID nangis darah, muntah keringat, vertigo akut, hingga 8 tahun…) Sekarang sih SID udah sedikit hidup lebih enak karna SID cuma mikirin tentang:
1. Giat berkesenian.
2. Giat berkesenian.
3. Giat berkesenian. Sampe mati.
Urusan distribusi dll udah diurusin Sony. Dengan 24/7 fokus berkesenian an sich, niscaya diharapkan hasil yang muncul lebih opitmal… Hey, esensial diingat, independensi tak serta merta pararel dengan eksistensi institusi di situ. Maksudnya, ketika sebuah band berada di bawah–katakanlah–Major (baca: institusi) bukan otomatis berarti band tsb katro’ (seperti kecurigaan komunal di Indonesia juga dunia pada band-band di bawah Major). Sebab jika demikian itu sama aja dengan nuduh rakyat Indonesia (baca: band) yang tinggal di negara paling korup di dunia bernama Indonesia (baca: institusi) adalah bagian integral dari axis of evil alias poros kejahatan. Negara Indonesia = korup > Rakyat Indonesia = korup. Begitu? Se-stereotype itu? Oh, come on…. Furthermore, saatnya nanti jika SID sudah tangguh secara finansial SID bakal bikin label sendiri dus akan mengimplementasikan obsesi SID selama ini.
1. Giat berkesenian.
2. Giat berkesenian.
3. Giat berkesenian. Sampe mati.
Urusan distribusi dll udah diurusin Sony. Dengan 24/7 fokus berkesenian an sich, niscaya diharapkan hasil yang muncul lebih opitmal… Hey, esensial diingat, independensi tak serta merta pararel dengan eksistensi institusi di situ. Maksudnya, ketika sebuah band berada di bawah–katakanlah–Major (baca: institusi) bukan otomatis berarti band tsb katro’ (seperti kecurigaan komunal di Indonesia juga dunia pada band-band di bawah Major). Sebab jika demikian itu sama aja dengan nuduh rakyat Indonesia (baca: band) yang tinggal di negara paling korup di dunia bernama Indonesia (baca: institusi) adalah bagian integral dari axis of evil alias poros kejahatan. Negara Indonesia = korup > Rakyat Indonesia = korup. Begitu? Se-stereotype itu? Oh, come on…. Furthermore, saatnya nanti jika SID sudah tangguh secara finansial SID bakal bikin label sendiri dus akan mengimplementasikan obsesi SID selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Muda , Beda , Berbahaya